Komunikasikan masalah kesehatan dengan mudah
Ganja medis akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Di Indonesia, ganja untuk keperluan medis masih dilarang penggunaannya karena termasuk kategori narkotika. Untuk memahami apa itu ganja medis, mari kita simak artikel ini.
Belum hilang dari ingatan peristiwa yang sempat viral di media sosial pada akhir Juni 2022 lalu. Saat itu seorang wanita asal Sleman Yogyakarta bersama suaminya menenteng poster “Tolong Anakku Butuh Ganja Medis”, sembari mendorong anak mereka yang terduduk di kursi roda. Keluarga ini menarik perhatian pengunjung Car Free Day (CFD) di Jakarta.
Anak tersebut rupanya menderita cerebral palsy, sejenis penyakit kelainan otak dan sulit diobati. Menurut ibunya, sebagaimana dilansir Kompas.com, saat dilahirkan kondisi anak tersebut normal meskipun kemudian kesehatannya semakin menurun. Kelainan otak mulai dialaminya semenjak sekolah taman kanak-kanak.
Seorang teman dari wanita tersebut menyarankan terapi CBD oil. Terapi yang menggunakan ganja medis itu, di luar negeri dianggap sebagai perawatan paling efektif untuk mengobati penyakit cerebral palsy.
Namun, tentu saja, sang ibu tak berani melakukannya. Sebab, penggunaan ganja medis masih dilarang di Indonesia sebagaimana UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menempatkan ganja sebagai narkotika golongan I.
Beberapa tahun lalu, ibu bernama Santi tersebut pernah mengajukan permohonan uji materiil tentang pasal penggunaan ganja medis di dalam undang-undang narkotika kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, MK menolaknya.
Sebelum peristiwa poster “Tolong Anakku Butuh Ganja Medis” di CFD Jakarta tersebut, pada awal Juni 2022 lalu Pemerintah Thailand melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis dan kuliner. Thailand telah mengeluarkan ganja dari daftar narkotika Kategori 5.
Kebijakan Thailand tersebut menjadikan negara ini sebagai negara pertama yang secara progresif melonggarkan aturan ganja di Asia Tenggara. Padahal, negara-negara di wilayah Asia Tenggara terkenal ketat dalam undang-undang narkoba.
Kedua peristiwa viral berkaitan dengan ganja tersebut kemudian membuat banyak orang menjadi semakin penasaran untuk mengetahui apa itu ganja medis. Dalam literatur ilmiah, ganja medis disebut medical cannabis. Yaitu tanaman atau bahan kimia dalam ganja yang digunakan untuk mengobati kondisi atau gejala dari suatu penyakit.
Diketahui bahwa tanaman ganja mengandung lebih dari 100 bahan kimia berbeda yang disebut cannabinoids. Efek dari setiap bahan kimia tersebut berbeda-beda pada tubuh.
Cannabinoids terdiri dari berbagai komponen, dimana yang utama adalah Tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif, dan Cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.
Ketika seorang pengguna ganja mengalami mabuk ganja, hal itu disebabkan oleh efek THC ganja yang bersifat psikoaktif. Sedangkan komponen CBD pada ganja memiliki efek farmakologi sebagai obat anti kejang.
Di Amerika Serikat, CBD bahkan sudah dikembangkan menjadi obat, dan sudah mendapat persetujuan dari FDA (badan otoritas untuk peredaran obat dan makanan). Contohnya adalah obat Epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.
Obat tersebut memiliki indikasi sebagai terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), untuk pasien yang sudah tidak merespon terhadap obat lain.
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gadjah Mada Prof Dr Zullies Ikawati, Apt, seperti dikutip dari situs ugm.ac.id, CBD memang telah teruji secara klinis dapat mengatasi kejang.
Namun demikian, dalam terapi anti kejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.
Dijelaskan bahwa ganja medis mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dengan dosis tertentu.
Ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
Ganja bisa jadi alternatif, namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan.
Jika ganja sudah menjadi senyawa murni seperti CBD, terukur dosisnya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten, maka hal tersebut tidak menjadi masalah.
Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan, itupun dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas.
Ganja adalah narkotika atau obat?
Dilansir dari Antara.com, hingga saat ini di Indonesia ganja digolongkan ke dalam jenis narkotika golongan 1. Demikian juga dengan THC dan delta-9 THC. Sedangkan Cannabidiol sama sekali belum masuk daftar obat narkotika golongan manapun.
Masih diperlukan koordinasi semua pihak terkait, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Narkotika Nasional, dan Majelis Ulama Indonesia untuk membuat regulasi untuk pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari Cannabis, seperti Cannabidiol, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya.
Riset-riset terkait ganja masih perlu diatur, dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan tetap membatasi aksesnya untuk menghindari penyalahgunaan.
Menteri Kesehatan RI, Ir Budi Gunadi Sadikin seperti dikutip ANTARA mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan RI akan segera memberikan izin ganja untuk dilakukan penelitian medis. Regulasi itu akan mengacu pada hasil kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penggunaan ganja untuk medis.
Penelitian ganja diizinkan arena sama halnya dengan tumbuhan lain. Namun Menkes dengan tegas mengatakan bahwa ganja untuk konsumsi tetap dilarang.
Riset lebih lanjut masih perlu dilakukan terkait ganja sebagai pengobatan. Ikatan Dokter Indonesia mendorong riset terlebih dahulu, sebelum akhirnya digunakan dalam pelayanan medis. Para pakar IDI telah dilibatkan dalam riset di Kementerian Kesehatan RI dan lembaga terkait lainnya. Hingga saat ini mereka masih terus mengumpulkan referensi ilmiah terkait apa itu ganja medis.
Meskipun polemik mengenai apa itu ganja medis masih menimbulkan pro dan kontra, namun ganja medis dipercaya akan memberikan banyak manfaat untuk menyembuhkan sejumlah penyakit asalkan penggunaannya dan proses pembuatannya dikawal dan dilakukan dengan semestinya, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan yang kemudian merugikan banyak pihak.
Manfaat ganja medis dalam pengobatan
Sejauh ini diyakini bahwa manfaat ganja medis untuk pengobatan dilakukan untuk mengatasi nyeri sakit kronis, seperti ditemukan dalam penelitian dalam jurnal The Health Effects of Cannabis and Cannabinoids.
Manfaat berikutnya dari ganja medis adalah untuk mengatasi kesehatan mental, depresi, bipolar dan stres.
Selain itu, dikabarkan bahwa ganja medis bisa memperlambat pertumbuhan sel kanker melalui zat aktif yang terkandung dalam cannabinoid yang bekerja untuk mempersempit peluang sel kanker untuk berkembang biak.
Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Sebab, beberapa penelitian menyebutkan bahwa tak ada garansi ganja bisa menghilangkan kanker sebagaimana halnya tindakan operasi.
Penggunaan cannabinoid pada ganja medis dalam jangka pendek dapat memperbaiki gejala kelainan motorik pengidap multiple sclerosis. Penyakit yang mempengaruhi otak, mata dan tulang belakang ini dapat diatasi gejalanya dengan ganja medis.
Saat gejala sklerosis memuncak, sistem kekebalan tubuh menyerang lapisan lemak yang melindungi serabut saraf. Ini memicu penurunan koordinasi gerak tubuh sementara, bahkan permanen.
Mengatasi Epilepsi
Dalam laporan Food and Drug Administration (FDA) pada Juni 2018, telah ada kesepakatan untuk menggunakan obat yang mengandung cannabinoid untuk mengobati dua jenis epilepsi langka yaitu sindrom Lennox-Gastaut dan Sindrom Dravet.
Penelitian lain pada 2017 menemukan penggunaan CBD juga dapat menurunkan intensitas kejang pada anak dengan gangguan sindrom Dravet. Angka yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan plasebo untuk mengatasi gangguan sindrom yang disebutkan barusan.
Durasi kejang yang terjadi pada pengidap sindrom dravet berlangsung lama. Kondisi ini dapat terjadi secara berulang dan berpotensi mematikan. Faktanya, 1 dari 5 anak dengan sindrom Dravet tidak bisa mencapai usia 20 tahun.
Selain bermanfaat untuk pengobatan, penggunaan ganja berlebih dapat memicu bahaya bagi tubuh. Efek samping yang paling ekstrem yang dirasakan oleh pengguna adalah dapat memicu munculnya pikiran untuk bunuh diri dan meningkatkan risiko depresi.
National Academies of Sciences juga menemukan beberapa bukti yang menunjukkan peningkatan risiko kanker testis pada pengguna ganja.
Selain itu, menghisap ganja kering layaknya merokok bisa meningkatkan risiko batuk kronis.
Demikianlah sekilas catatan penting untuk memahami apa itu ganja medis yang mesti kamu pahami. Bagikan artikel ini dan jangan lupa unduh aplikasi Okeklinik.